Widget HTML Atas


Pemerintah gagal memetakan tenaga kerja?



Opini: Kegagalan Memetakan Tenaga Kerja, Akar Pengangguran Lulusan SMK


Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru kembali menyingkap ironi yang telah berlangsung lama dalam sistem ketenagakerjaan nasional: lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menghadapi dunia kerja, justru mencatatkan tingkat pengangguran tertinggi di Indonesia, mencapai 9,01 persen.

Alih-alih menjadi motor penggerak ekonomi berbasis keterampilan, lulusan SMK justru menjadi potret menyedihkan dari sistem pendidikan yang kehilangan arah—sebuah kegagalan sistemik yang, jika ditelusuri lebih dalam, berpangkal pada lemahnya perencanaan dan pemetaan tenaga kerja secara riil oleh pemerintah.


Sistem Tanpa Peta Jalan

Sejauh ini, kebijakan pendidikan vokasi berjalan tanpa fondasi perencanaan yang kuat. SMK tumbuh cepat dari segi kuantitas, namun tidak disertai peta kebutuhan sektor kerja yang dinamis. Banyak sekolah membuka jurusan berdasarkan tren lama, bukan berdasarkan proyeksi kebutuhan industri aktual, baik di tingkat daerah maupun nasional.

Hasilnya, lulusan yang dihasilkan tidak sesuai dengan permintaan pasar. Mereka terjebak dalam kondisi over-supply untuk sektor yang tidak lagi tumbuh, sementara industri yang berkembang kekurangan tenaga terampil. Ini bukan semata kesalahan sekolah, tetapi cerminan dari absennya sistem perencanaan tenaga kerja nasional yang berbasis data dan real-time.


Gagal Mengintegrasikan Data

Kementerian Pendidikan, Kementerian Ketenagakerjaan, dan pelaku industri berjalan di jalurnya masing-masing. Tidak ada sistem nasional yang mampu mengintegrasikan data kebutuhan tenaga kerja, tren industri, jumlah lulusan, serta kemampuan yang dibutuhkan oleh dunia usaha. Akibatnya, pendidikan berjalan dalam ruang hampa—tidak terkoneksi dengan dunia nyata.

Sungguh mengherankan di era digital seperti saat ini, ketika big data dan analitik tersedia melimpah, pemerintah justru gagap memanfaatkan kekuatan data untuk menyusun strategi pengembangan SDM. Hal ini menunjukkan defisit kepemimpinan dalam perencanaan jangka panjang.


Harga dari Kegagalan Ini

Dampaknya bukan sekadar statistik. Ini menyangkut nasib jutaan anak muda Indonesia yang keluar dari sistem pendidikan dengan harapan besar, hanya untuk dihadapkan pada realitas pahit pengangguran. Mereka tersingkir sebelum sempat bertarung.
Pengangguran pada lulusan SMK tidak hanya merugikan individu, tetapi juga membuat bangsa ini kehilangan daya saing. Bonus demografi yang seharusnya menjadi berkah bisa berubah menjadi beban, jika pemerintah terus gagal mengelola transisi dari pendidikan ke dunia kerja.


Jalan ke Depan

Sudah saatnya pemerintah bertindak serius. Diperlukan sistem pemetaan kebutuhan tenaga kerja berbasis data sektoral dan regional yang aktual. Dunia pendidikan harus menyesuaikan kurikulum dan pembukaan jurusan berdasarkan proyeksi riil, bukan asumsi belaka. Dan yang lebih penting, perlu ada reformasi sistem link and match secara menyeluruh antara lembaga pendidikan dan dunia usaha.

Tak cukup lagi membuat peta jalan pendidikan di atas kertas. Kita butuh implementasi yang berbasis kenyataan. Jika tidak, angka pengangguran akan terus bertambah, dan sistem pendidikan kita akan terus mencetak harapan kosong. (@cahyodarujati)