QRIS dan Arti Kedaulatan Negara di Era Digital
Di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan globalisasi, kedaulatan negara tidak lagi hanya diukur dari kekuatan militer atau batas wilayah. Kini, kedaulatan juga berarti kemampuan sebuah bangsa untuk mengontrol data, sistem, dan infrastrukturnya sendiri—terutama dalam ranah digital. Dalam konteks Indonesia, sistem pembayaran nasional seperti QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) dan GPN (Gerbang Pembayaran Nasional) telah menjadi simbol penting dari kedaulatan tersebut.
Selama bertahun-tahun, sistem keuangan global bergantung pada jaringan milik negara-negara besar seperti Amerika Serikat. Transaksi menggunakan Visa, Mastercard, atau SWIFT tak hanya mahal, tetapi juga membuat negara berkembang bergantung pada pihak luar. QRIS hadir sebagai jawaban atas ketergantungan itu. Dengan menyatukan sistem pembayaran digital ke dalam satu standar nasional, Indonesia menunjukkan bahwa ia mampu berdiri di atas kaki sendiri dalam mengatur arus keuangan rakyatnya.
Namun, ketika sistem ini mulai berhasil, tekanan dari luar pun datang. Pemerintah Amerika Serikat menganggap kebijakan Indonesia membatasi perusahaan asing untuk berinvestasi dan beroperasi secara bebas di sektor pembayaran. Tekanan ini tidak bisa dipandang sebagai sekadar sengketa dagang. Ini adalah ujian terhadap kedaulatan kita sebagai bangsa.
Kedaulatan berarti kemampuan untuk mengambil keputusan sendiri berdasarkan kepentingan nasional, bukan karena tekanan dari kekuatan luar. Dalam hal ini, membiarkan sistem pembayaran nasional diatur atau dipengaruhi oleh perusahaan asing berarti melepaskan kendali atas data transaksi masyarakat Indonesia. Data adalah kekayaan baru, dan jika dikuasai pihak asing, berarti kita menyerahkan sebagian kendali atas masa depan bangsa kita.
Lebih jauh lagi, sistem seperti QRIS tidak hanya tentang teknologi. Ini adalah bentuk keberpihakan negara kepada rakyat kecil—UMKM, pedagang kaki lima, hingga petani di desa. Mereka kini dapat menerima pembayaran digital tanpa harus membayar biaya tinggi kepada sistem asing. Jika sistem ini harus diubah demi membuka jalan bagi perusahaan asing, maka negara sedang mengorbankan rakyatnya sendiri demi kepentingan global.
Karena itu, pertahanan terhadap QRIS dan GPN adalah pertahanan terhadap kedaulatan Indonesia. Ini bukan soal anti-investasi asing, tapi soal siapa yang memegang kendali atas sistem strategis nasional. Presiden Prabowo, sebagai pemimpin baru, harus menempatkan isu ini sebagai prioritas. Kedaulatan digital bukan hal kecil—ini fondasi penting agar Indonesia dapat bersaing, berdiri sejajar, dan dihormati di panggung dunia.