Ideologi, Proteksionisme, dan Arah Masa Depan Indonesia di Tengah Dinamika Global
Pendahuluan
Dalam dinamika global saat ini, benturan dan percampuran ideologi antara kapitalisme dan sosialisme menjadi lebih kasat mata, terutama ketika dua kekuatan ekonomi dunia – Amerika Serikat dan Tiongkok – menegosiasikan kepentingan nasional mereka melalui kebijakan tarif, proteksi, dan diplomasi ekonomi. Peristiwa perundingan antara pemerintahan Donald Trump dan Presiden Xi Jinping adalah cerminan bagaimana ideologi tidak lagi menjadi batas hitam-putih, melainkan alat fleksibel untuk mempertahankan kepentingan nasional.
Kapitalisme vs Sosialisme: Mitos, Realita, dan Pembauran
Secara historis, Amerika Serikat dikenal sebagai pelopor kapitalisme liberal dengan demokrasi representatif sebagai basis legitimasi politiknya. Sebaliknya, China mengusung sosialisme dengan sistem satu partai. Namun, dalam praktiknya, kedua negara justru menunjukkan arah kebijakan yang bersifat hibrid dan bahkan saling mengadopsi elemen dari ideologi lawannya.
Penerapan kebijakan proteksionis oleh Trump, seperti tarif impor tinggi dan strategi “America First”, menyerupai karakter sosialisme ekonomi negara. Di sisi lain, China yang disebut sosialis justru menjadi lokomotif kapitalisme global, dengan mendorong investasi asing, ekspor masif, dan industrialisasi berbasis efisiensi pasar. Inilah bentuk baru "state capitalism" atau kapitalisme negara yang unik, di mana negara menjadi aktor utama pengendali dan fasilitator pasar.
USD dan Produktivitas China: Dua Kekuatan Global
Dominasi dolar AS sebagai mata uang global memberikan stabilitas moneter internasional, namun juga menciptakan ketergantungan terhadap kebijakan fiskal dan moneter Amerika. Sementara itu, China memperkuat posisinya melalui produktivitas yang didorong oleh investasi negara dalam riset sains dan teknologi. Kedua kutub ini menciptakan simbiosis yang secara teoritis mencerminkan konsep invisible hand Adam Smith, tetapi dalam bentuk yang lebih kompleks, dengan peran negara yang semakin dominan.
Indonesia dan Krisis Identitas Ideologis
Di tengah pergeseran global tersebut, Indonesia justru mengalami krisis identitas ideologis. Dalam praktik ekonomi, kebijakan negara cenderung neoliberal: pasar bebas, investasi asing, dan privatisasi. Namun dalam politik, negara sering menggunakan pendekatan populis yang berorientasi pada subsidi, bansos, dan kontrol harga. Sayangnya, banyak kebijakan tersebut tidak dilandasi kerangka ideologi yang jelas, melainkan pragmatisme jangka pendek dan kepentingan elite.
Ketidakkonsistenan ini menciptakan ruang bagi praktik state capture, di mana sekelompok elite mampu mengendalikan kebijakan negara untuk keuntungan pribadi atau kelompok. Dalam kondisi seperti ini, ideologi menjadi instrumen kosong – hanya sebagai simbol – yang tidak lagi memiliki daya arah dan kontrol atas tindakan negara.
Tantangan dan Harapan
Tantangan terbesar Indonesia bukan hanya memilih ideologi, melainkan membangun konsistensi institusional dan keadilan distribusi. Ideologi Pancasila seharusnya menjadi titik pijak dalam merumuskan kebijakan ekonomi-politik yang menjawab kebutuhan rakyat, bukan alat justifikasi kekuasaan. Ketika ideologi dilupakan dan hanya menjadi slogan, yang terjadi adalah stagnasi politik, korupsi sistemik, dan alienasi rakyat dari negara.
Namun harapan tetap ada. Kesadaran kritis masyarakat – terutama generasi muda – menjadi kekuatan moral untuk menuntut transparansi, akuntabilitas, dan arah kebijakan yang sesuai dengan cita-cita konstitusional. Demokrasi yang sehat akan memberikan ruang bagi kritik, bukan menindasnya. Negara yang kuat bukan negara yang membungkam kritik, melainkan yang mampu mengelola kritik menjadi energi perbaikan.
Penutup
Pertarungan ideologi antara kapitalisme dan sosialisme di tingkat global kini tidak lagi menjadi pertentangan biner, melainkan saling mempengaruhi dan bertransformasi. Indonesia tidak perlu meniru secara mentah salah satu model, melainkan membangun jalur sendiri yang konsisten dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Ideologi bukan sekadar pilihan retoris, melainkan fondasi kebijakan dan tindakan negara. Jika ideologi hanya menjadi alat kekuasaan, maka rakyat akan kehilangan arah. Jika rakyat diam, maka elite akan menjadi bandit. Namun jika rakyat bersuara, sejarah bisa berubah. (cmiiw)