Widget HTML Atas


Larangan untuk menghadap atau membelakangi kiblat saat buang hajat

"Apabila engkau ke WC, janganlah menghadap kiblat atau membelakanginya ketika kencing atau buang air besar." (HR. Muslim).
Hadis tersebut berasal dari Shahih Muslim, yang merupakan salah satu kitab hadits yang paling otoritatif dalam Islam. Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Ayyub al-Anshari dan juga terdapat dalam Shahih al-Bukhari dengan redaksi yang serupa. Oleh karena itu, dari segi kekuatan hukum (derajat hadis), hadits ini tergolong shahih.

Analisis Kekuatan Hukum Hadits 

1. Derajat Hadis
Karena hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dan juga terdapat dalam riwayat Bukhari, maka hadis ini berstatus shahih mutafaq ‘alaih (disepakati oleh Bukhari dan Muslim), yang merupakan tingkatan hadis paling tinggi dalam Islam.

2. Konteks dan Pemahaman Fikih

Hadits ini berisi larangan untuk menghadap atau membelakangi kiblat saat buang hajat.

Dalam Mazhab Syafi'i dan Hanbali, larangan ini dipahami sebagai haram, khususnya ketika berada di tempat terbuka.

Dalam Mazhab Hanafi dan Maliki, larangan ini lebih bersifat makruh (tidak disukai tetapi tidak sampai haram), terutama jika di dalam bangunan atau ruangan tertutup.

Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menyatakan bahwa larangan ini menunjukkan penghormatan terhadap kiblat, bukan sekadar hukum haram mutlak.

3. Kesimpulan Kekuatan Hukumnya

Hadits ini shahih secara sanad dan matan.

Hukum fikihnya diperdebatkan antara haram (bagi yang di tempat terbuka) dan makruh (bagi yang di dalam bangunan).

Ulama sepakat bahwa jika ada pembatas seperti dinding, maka larangan ini lebih ringan.

Dengan demikian, hadits ini memiliki kekuatan hukum yang sangat kuat karena berstatus shahih, tetapi penerapannya dalam fikih bervariasi tergantung pada kondisi dan mazhab yang diikuti.