Polemik Alokasi 30% untuk Program Makan Bergizi Gratis
Anggaran Pendidikan 2026: Polemik Alokasi 30% untuk Program Makan Bergizi Gratis
Pemerintah telah menetapkan anggaran pendidikan dalam APBN 2026 sebesar Rp 757,8 triliun (Setneg.go.id), naik hampir 10% dari outlook 2025. Secara nominal, angka ini terlihat besar dan menunjukkan komitmen negara memenuhi amanat konstitusi yang mewajibkan alokasi minimal 20% dari APBN untuk fungsi pendidikan. Namun, di balik angka itu muncul polemik serius: sekitar Rp 223–224 triliun atau 30% dari total anggaran pendidikan dialokasikan untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG) (Infobanknews.com, VOI.id).
MBG dalam Anggaran Pendidikan: Kontribusi atau Distorsi?
Program MBG dirancang sebagai salah satu program prioritas pemerintahan baru dengan tujuan meningkatkan gizi anak sekolah. Secara konsep, penyediaan makanan sehat memang bisa mendukung kualitas belajar siswa. Namun, masalah muncul ketika dana MBG ditempatkan di dalam anggaran pendidikan, bukan kesehatan atau program sosial.
Beberapa kritik yang muncul antara lain:
-
Distorsi alokasi:
Dana besar untuk MBG berpotensi mengurangi ruang fiskal bagi kebutuhan mendasar pendidikan, seperti kesejahteraan guru, perbaikan infrastruktur sekolah, pengadaan buku, serta riset dan inovasi (UM Surabaya). -
Tidak sejalan dengan mandat konstitusi:
Pasal 31 UUD 1945 menegaskan kewajiban negara membiayai pendidikan dasar dan menengah. Putusan Mahkamah Konstitusi juga menekankan prioritas dana pendidikan untuk pemenuhan layanan sekolah gratis, bukan program makan gratis (NU Online, New-Indonesia.org). -
Beban APBN dan efektivitas:
Ekonom menilai pembiayaan MBG lewat pos pendidikan bisa memperbesar tekanan APBN dan menimbulkan tumpang tindih program, sebab sebagian kelompok sasaran MBG (seperti ibu hamil atau anak usia dini) lebih relevan berada dalam fungsi kesehatan (VOI.id).
Perspektif Hukum: Potensi Gugatan
Secara hukum, alokasi 30% dana pendidikan untuk MBG dapat diperdebatkan. Ada dua jalur argumentasi:
-
Konstitusional:
Menurut Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), penempatan MBG dalam anggaran pendidikan bertentangan dengan Pasal 31 UUD 1945 dan putusan MK (No. 3/PUU-XXII/2024 dan No. 111/PUU-XXIII/2025) yang menegaskan bahwa prioritas dana pendidikan adalah layanan sekolah gratis, bukan program konsumsi (NU Online, VOI.id). -
Undang-Undang Sisdiknas (UU No. 20/2003):
Celios menilai bahwa pengalokasian sekitar 30% anggaran pendidikan kepada MBG adalah melanggar UU Sisdiknas, karena MBG bukan bagian dari sistem pendidikan formal, sehingga pengalokasian dana pendidikan untuk MBG bisa dianggap menyimpang (Infobanknews.com).
Dengan dua dasar ini, potensi gugatan ke Mahkamah Konstitusi atau judicial review terbuka, baik oleh kelompok masyarakat sipil maupun organisasi pendidikan.
Dilema Kebijakan: Antara Gizi dan Pendidikan
Pemerintah tentu punya argumen kuat: gizi yang baik adalah prasyarat pendidikan yang berkualitas. Anak-anak yang lapar akan sulit menyerap pelajaran. Namun, masalahnya bukan pada keberadaan MBG, melainkan sumber dan penempatan anggaran.
Jika MBG dibiayai lewat fungsi kesehatan atau program perlindungan sosial, polemik ini tidak akan muncul. Persoalan timbul karena alokasi pendidikan dikurangi untuk membiayai program non-pendidikan (UM Surabaya).
Kesimpulan
- Fakta resmi: Anggaran pendidikan APBN 2026 sebesar Rp 757,8 triliun (Setneg.go.id). Dari jumlah itu, sekitar Rp 223–224 triliun (30%) dialokasikan untuk MBG (Infobanknews.com).
- Masalah utama: Penempatan MBG dalam pos pendidikan dianggap mengurangi pemenuhan kewajiban negara atas pendidikan gratis, kesejahteraan guru, dan riset.
- Aspek hukum: Ada potensi pelanggaran terhadap Pasal 31 UUD 1945 dan UU Sisdiknas.
- Rekomendasi: MBG sebaiknya dibiayai dari anggaran kesehatan atau perlindungan sosial, sementara anggaran pendidikan difokuskan pada fungsi pendidikan murni.