Mengapa Banyak Kebijakan Kampus Gagal
Mengapa Banyak Kebijakan Kampus Gagal: Karena Salah Memahami Sistem
Di banyak perguruan tinggi, kebijakan silih berganti. Rektor berganti, program baru muncul. Visi dicanangkan, target dinaikkan, tapi masalah yang sama terus berulang: dosen resah, mahasiswa apatis, staf birokratis.
Masalahnya bukan pada kurangnya niat baik. Bukan juga pada kurangnya pemimpin. Masalahnya, seperti yang dikatakan Peter Senge dalam bukunya The Fifth Discipline, adalah: kita gagal memahami sistem yang sedang kita ubah.
Senge menulis bahwa 70 persen kegagalan organisasi modern bukan karena SDM-nya malas atau pemimpinnya lemah, tapi karena cara berpikir yang linier dan reaktif. Banyak kebijakan dibuat hanya merespons gejala, tanpa memahami akar masalah. Akibatnya, solusi jangka pendek justru memperparah kerusakan sistemik dalam jangka panjang.
Contoh dari Dunia Kampus
-
Indeks Prestasi Rendah, Solusinya? Tambah Tugas.
- Banyak dosen mengeluh mahasiswa makin tidak kompeten. Solusinya? Tambah tugas, tambah kuis. Padahal, masalahnya mungkin bukan pada volume tugas, tapi pada minimnya relevansi, metode belajar pasif, atau lingkungan belajar yang tidak aman secara psikologis.
-
Mahasiswa Tidak Aktif Organisasi, Solusinya? Wajibkan Kegiatan.
- Kampus membuat kebijakan wajib UKM atau SKKM untuk “melatih soft skill.” Tapi karena tidak paham kebutuhan dan motivasi mahasiswa, hasilnya justru formalitas belaka. Mahasiswa hadir demi tanda tangan, bukan pengalaman.
-
Kinerja Dosen Dinilai Lemah, Solusinya? Tambah Target Kinerja.
- Pimpinan menaikkan angka publikasi dan borang. Tapi tekanan itu tidak disertai dukungan sistemik: tidak ada pelatihan metodologi, minim riset kolaboratif, birokrasi insentif yang rumit. Akhirnya, dosen stres, dan budaya copy-paste jurnal pun tumbuh subur.
Berpikir Sistematis dalam Organisasi Kampus
Senge menyebut systems thinking sebagai “disiplin kelima” yang menyatukan empat lainnya:
- Personal mastery – pembelajaran diri sepanjang hayat,
- Mental models – mengubah pola pikir lama,
- Shared vision – visi bersama,
- Team learning – belajar sebagai tim, bukan individu.
Tanpa berpikir sistem, kampus terjebak dalam pola tambal sulam. Keputusan dibuat tanpa melihat loop umpan balik atau dampak jangka panjang. Misalnya:
Makin ditekan dosen untuk menulis, makin banyak yang burnout, makin tinggi turn over, makin sulit naik peringkat.
Atau:
Kampus ingin mempercepat akreditasi, lalu menciptakan sistem pelaporan super birokratis. Akibatnya, waktu dosen habis untuk upload borang, bukan mengajar atau riset.
Kenapa Banyak Pimpinan Kampus Gagal Berpikir Sistemik?
Karena:
- Lebih mudah menyalahkan individu daripada memperbaiki struktur.
- Lebih cepat membuat kebijakan populis daripada memimpin dialog mendalam.
- Sistem pendidikan kita sendiri jarang mengajarkan berpikir pola dan interaksi, lebih sering mengajarkan menghafal dan menyelesaikan soal.
Berpikir sistematis itu tidak instan, tidak populer, dan tidak terlihat sibuk. Tapi justru itulah kekuatannya.
Apa yang Bisa Dilakukan Perguruan Tinggi?
- Berhenti mengobati gejala. Coba tanya: “Masalah ini muncul karena apa?” bukan “Siapa yang salah?”
- Lacak pola, bukan peristiwa. Apakah keluhan ini muncul berulang setiap tahun? Jika iya, berarti ada pola.
- Perbaiki struktur, bukan hanya orang. Jika 3 orang gagal di posisi yang sama, mungkin sistemnya yang salah.
- Bangun budaya belajar, bukan hanya budaya target. Kampus bukan pabrik angka, tapi ekosistem pembelajaran.
Kesimpulan
Senge menulis: “Hari ini kita memanen hasil dari struktur sistem yang kita bangun kemarin.”
Kalau kamu bagian dari organisasi kampus – entah dosen, mahasiswa, rektorat, atau staf – tanyakan ini:
Apakah saya sedang memecahkan masalah, atau hanya menunda bom waktu?
Ajak Refleksi
Tulis di komentar: Kebijakan atau kebiasaan apa di kampusmu yang menurutmu memperparah masalah jangka panjang?
Ajak kolegamu yang kerja keras tapi hasilnya stagnan, untuk membaca ini.
Mungkin yang mereka butuhkan bukan kerja lebih keras, tapi berpikir lebih sistematis.