Kuburan Teknologi Telco
Kuburan Teknologi Telco: Ketika Visi Hebat Dikalahkan oleh Eksekusi yang Gagal
Pada suatu masa, industri telekomunikasi memiliki mimpi besar. Visi tentang masa depan komunikasi digital—suara berbasis IP, video, pesan multimedia, distribusi konten siaran via jaringan seluler—dibingkai dalam proyek-proyek raksasa seperti IMS (IP Multimedia Subsystem), RCS (Rich Communication Services), MBMS (Multimedia Broadcast Multicast Services), dan berbagai standar lainnya.
Ribuan insinyur dari operator dan vendor global bekerja siang dan malam, bertahun-tahun, membangun spesifikasi yang tebal, mengikuti roadmap komite standar, dan membakar anggaran jutaan dolar demi mewujudkan mimpi “masa depan komunikasi telco.”
Namun, kenyataannya tidak seindah roadmap itu. Proyek demi proyek masuk ke dalam kuburan teknologi telco—bukan karena idenya salah, bukan pula karena kurangnya dana atau bakat, tapi karena struktur eksekusi yang gagal menjawab tantangan zaman.
Ketika Inovasi Terlalu Lambat
Contoh paling nyata adalah IMS. Dibangun dengan arsitektur yang sangat kompleks dan penuh standar, IMS menjanjikan komunikasi suara, video, dan pesan berbasis IP secara native. Namun, alih-alih menjadi fondasi komunikasi masa depan, IMS justru menjadi sistem yang lambat, kaku, dan rapuh. Integrasinya sulit. Waktu ke pasar bisa memakan waktu bertahun-tahun. Setelah bertahun-tahun dikembangkan dan diselaraskan di seluruh dunia, IMS tidak pernah benar-benar menyentuh tangan pengguna.
Demikian pula dengan RCS, Joyn, dan LTE Broadcast—semuanya adalah produk dari visi kolektif telco yang ambisius, namun gagal menyesuaikan diri dengan kecepatan pasar.
WhatsApp: Eksekusi Tanpa Komite
Di saat para telco sibuk menggelar forum kerja dan uji coba interoperabilitas, lima engineer di WhatsApp diam-diam menulis ulang aturan permainan komunikasi global. Mereka tidak menggunakan framework signaling rumit. Mereka tidak menunggu standar diakui. Mereka hanya fokus pada satu hal: pengguna.
WhatsApp tidak meminta izin untuk tumbuh. Ia lahir dari prinsip sederhana:
- Bangun produk yang berfungsi.
- Eksekusi cepat.
- Uji langsung di pasar.
- Skala secara global tanpa birokrasi.
Hasilnya? WhatsApp mencapai satu miliar pengguna dalam waktu yang bahkan tidak cukup untuk menyusun spesifikasi teknis IMS.
Bukan Salah Teknologi, Tapi Budaya Eksekusi
Yang mengejutkan adalah: ide-ide dasar dari proyek telco seperti RCS atau MBMS sebenarnya tidak buruk. Dalam banyak kasus, mereka visioner. Bahkan beberapa fiturnya kini hadir di WhatsApp atau Telegram.
Artinya, kegagalan ini bukan karena ide yang buruk, tapi karena pendekatan yang lambat, terfragmentasi, dan terlalu bergantung pada kesepakatan lintas perusahaan dan standar.
Telco membangun untuk konsorsium, bukan untuk pengguna. Mereka memonetisasi lisensi, bukan pengalaman. Mereka merancang sistem agar sesuai dengan regulasi, bukan dengan kenyamanan.
Siklus yang Harus Diputus
Jika telco ingin keluar dari siklus kematian teknologi ini, maka paradigma eksekusi harus dirombak total:
✅ Waktu pengembangan harus dipercepat—dari tahunan menjadi triwulanan.
✅ Tim harus menghasilkan produk berjalan, bukan spesifikasi mati.
✅ Developer harus diperlakukan sebagai pengguna inti, bukan kasus pinggiran.
✅ Arsitektur modular harus menggantikan logika keselarasan yang rumit.
✅ Monetisasi harus bergeser dari lisensi ke model berbasis penggunaan.
✅ Dan yang terpenting—pengguna akhir tidak boleh lagi menjadi abstraksi di balik lapisan komite dan compliance.
Pelajaran dari Kuburan Teknologi
Kita telah melihat cukup banyak “ide besar” yang mati sebelum lahir. IMS. MBMS. MMS. RCS. Joyn. Push-to-Talk. Telco app stores. OneAPI. Telco cloud. Setiap nama itu mewakili mimpi besar yang terjerat dalam eksekusi yang terlalu lambat untuk zaman yang bergerak cepat.
Dan setiap kali, yang menang bukanlah mereka yang punya standar paling lengkap, tetapi mereka yang membuat produk yang langsung bisa digunakan dan dicintai pengguna.
Penutup: Eksekusi adalah Raja
Tulisan ini menyadarkan kita bahwa dalam era digital, eksekusi mengalahkan segalanya—bahkan ide, dana, dan standar. WhatsApp membuktikan bahwa lima orang yang bekerja cepat dan fokus bisa mengalahkan ribuan insinyur yang terjebak dalam birokrasi.
Bagi telco yang ingin tetap relevan, perubahan bukan lagi pilihan—melainkan keharusan.
“Vision has never been the missing piece. WhatsApp proved that execution, not scale, not funding, not standards, is what shapes the future.”
Bagaimana masa depan perusahaan telekomunikasi di Indonesia??
Sumber: Penjelasan, verifikasi, dan validasi dari tulisan “The Telco Tech Graveyard”.