Ketika Tiongkok Belajar dari Kesalahan Jepang dan Perancis
Ketika Tiongkok Belajar dari Kesalahan Jepang dan Perancis
Belajar dari tragedi industri Jepang dan Eropa, Tiongkok memilih melawan tekanan Barat dengan strategi kemandirian penuh.
Apakah Tiongkok Akan Bernasib Seperti Jepang?
Pertanyaan ini mencuat seiring kebangkitan Tiongkok sebagai raksasa teknologi global. Banyak yang bertanya-tanya, akankah Tiongkok mengalami nasib seperti Jepang pada era 1980-an—bangkit pesat, lalu “dipatahkan” oleh Amerika Serikat lewat tekanan ekonomi dan politik?
Untuk menjawabnya, mari kita kilas balik ke salah satu tragedi besar yang menimpa Jepang: kasus Toshiba.
Saat Jepang Terlalu Unggul
Pada era 1980-an, Toshiba menjadi simbol kejayaan Jepang di bidang teknologi, terutama semikonduktor. Bersama perusahaan-perusahaan seperti NEC dan Fujitsu, mereka bahkan mengalahkan dominasi AS. Tapi keberhasilan itu justru jadi bumerang.
Tahun 1987, AS menuduh Toshiba terlibat dalam penjualan teknologi tinggi ke Uni Soviet. Tuduhan itu memicu sanksi berat: eksekutif ditangkap, produk diboikot, dan pemerintah Jepang ditekan secara politik. Bersamaan dengan itu, perjanjian Plaza Accord memaksa Yen menguat, membuat ekspor Jepang kolaps. Hasilnya: Jepang masuk masa stagnasi ekonomi selama puluhan tahun.
Kasus Alstom: Eropa Tak Luput
Nasib serupa menimpa Alstom, perusahaan energi asal Perancis. CEO-nya, Frederic Pierucci, ditangkap di AS karena dugaan korupsi di Indonesia—tapi konteksnya lebih luas. Alstom bersaing ketat dengan General Electric (GE) asal AS. Setelah tekanan demi tekanan, Alstom akhirnya "dijual" ke GE. Teknologi berpindah tangan, Eropa kehilangan satu lagi aset strategisnya.
Tiongkok Melawan
Tiongkok melihat pola itu. Jadi saat AS menarget Huawei dan menangkap CFO-nya, Meng Wanzhou, pada 2018, respons Tiongkok sangat berbeda. Alih-alih tunduk, mereka melawan—secara hukum, diplomatik, dan publik. Muncul slogan “Ingat Toshiba! Ingat Alstom!” di media sosial Tiongkok. Masyarakatnya ramai-ramai mendukung Huawei.
Hasilnya? Meng akhirnya dibebaskan tanpa syarat. Huawei tetap berdiri tegak, bahkan meluncurkan ponsel canggih Mate 60 Pro di tengah embargo AS. Peluncurannya disertai sindiran terhadap Menteri Perdagangan AS, menunjukkan bahwa Tiongkok tak gentar menghadapi tekanan geopolitik.
Strategi Mandiri ala Tiongkok
Yang membedakan Tiongkok dengan Jepang adalah satu kata: kemandirian. Melalui program Made in China 2025, Tiongkok menargetkan dominasi teknologi dalam negeri di hampir semua sektor strategis: semikonduktor, AI, luar angkasa, energi, dan pertahanan.
Keseriusan itu terlihat dari pencapaian mereka: stasiun luar angkasa Tiangong, misi ke Mars, dan bahkan chip buatan lokal meski diboikot dari teknologi AS. Rakyat, pemerintah, dan industri Tiongkok satu suara: mereka tak mau menjadi “vasal” negara lain.
Kesimpulan
Jepang dan Perancis mungkin pernah tunduk di bawah tekanan AS, tapi Tiongkok memilih jalan berbeda. Mereka tak sekadar melawan, tapi menciptakan sistem sendiri yang tak bergantung pada dominasi Barat.
Maka jawabannya jelas: Tiongkok tidak akan menjadi Jepang berikutnya. Mereka bukan hanya bertahan, tapi sedang mendefinisikan ulang tatanan kekuatan global—dengan caranya sendiri.