Widget HTML Atas


Mencintai Permasalahan di Tengah Dunia yang Serba Cepat

Renungan Pribadi: Mencintai Permasalahan di Tengah Dunia yang Serba Cepat

Dalam dunia modern yang serba instan, serba cepat, dan penuh tuntutan, permasalahan seringkali dianggap sebagai hal yang mengganggu. Kita hidup dalam budaya yang menuntut solusi cepat dan hasil sempurna. Ketika masalah datang — entah itu kegagalan dalam karier, konflik dalam hubungan, tekanan finansial, atau gangguan kesehatan mental — reaksi pertama kita biasanya adalah panik, marah, atau bahkan putus asa.
Namun, kutipan Rumi mengajarkan sesuatu yang begitu dalam: “Aku mencintai permasalahanku, karena aku tahu yang memberi permasalahanku juga mencintaiku.”

Ia mengajak kita untuk berhenti sejenak, menenangkan diri, dan melihat masalah bukan sebagai kutukan, tapi sebagai bentuk cinta dari Sang Pencipta. Seolah Rumi berkata, “Jangan melawan hidup, peluklah ia, termasuk luka-lukanya.”

Di tengah hiruk-pikuk pekerjaan dan target-target yang tak ada habisnya, kita lupa bahwa setiap permasalahan membawa pesan. Masalah memaksa kita berhenti sejenak, merenung, memperbaiki arah, bahkan menemukan versi terbaik dari diri kita yang selama ini tertutup kesibukan.

Contohnya:

Ketika kita kehilangan pekerjaan, mungkin itu adalah jalan untuk menemukan pekerjaan yang lebih bermakna.

Ketika hubungan kita hancur, bisa jadi itu pembuka bagi kedewasaan dan cinta yang lebih tulus.

Ketika kecemasan dan depresi melanda, mungkin itu panggilan untuk kembali ke dalam — berdialog dengan jiwa yang telah lama kita abaikan.


Mencintai permasalahan bukan berarti menyerah. Tapi justru bentuk tertinggi dari penerimaan dan kepercayaan bahwa semua yang terjadi memiliki makna — karena datang dari Tuhan yang mencintai kita tanpa syarat.

Di tengah dunia yang mengagungkan kecepatan dan hasil, Rumi mengajarkan kita untuk berhenti, bersyukur, dan mencintai setiap bagian dari perjalanan — bahkan bagian yang sakit sekalipun.